Senin, 19 November 2007

Islam KTP = Muhammadiyah KTA?

Loyalitas dan Integritas Kader Muhammadiyah
Oleh: M Rivai Tuhuleley*

“Hidup-hidupilah Muhammadiyah tapi jangan mencari hidup di Muhammadiyah…” KH. Ahmad Dahlan

Islam di Indonesia merupakan agama terbanyak penganutnya dan terbesar di dunia. Jumlah yang cukup signifikan hampir 80an % jumlah yang beragama Islam dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Namun kwantitas jumlah penganut tidak berimbang dengan kwalitas umatnya. Indonesia masih memimpin dengan KKN-nya, pengangguran, sikap anarkis, pergusuran, dan lainnya. Perilaku dan mentalitas masyarakat kita belum seimbang dengan keberadaan organisasi-organisasi keagamaan yang ada di Indonesia. Artinya pendampingan keagamaan ke masyarakat entah kurang atau belum sama sekali. Sehingga nominal persentasi penganut Islam perlu juga dipertanyakan keberadaannya. Ataukah sebagian masyarakat muslim itu hanya diklaim sebagai ”Islam KTP”, yang dimana Islam hanya tertera di KTP sebagai formalitas belaka. Namun sikap dan perilakunya bukan sebagai seorang muslim. Kemanakah umat yang mayoritas itu? Muhammadiyah bergerak dimanakah? Muhammadiyah yang notabene merupakan oraganisasi keagamaan terbesar selain NU di Indonesia juga dipertanyakan perannya.

Hampir seabad sudah perjalanan Muhammadiyah, Umur yang cukup uzur bagi sebuah organisasi. Peran Muhammadiyah dalam membangun bangsa dan negara tidak bisa dipungkiri lagi. Berbagai peranan baik di dunia pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi dan lainnya menjadi bukti Muhammadiyah konsekeunsi merubah bangsa ini menjadi lebih baik lagi. Dibangun diseantero pelosok Nusantara amal usaha, pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT), kesehatan dengan PKU-nya, BMT, Koperasi, Pondok Pesantren, Panti Asuhan dan banyak lagi yang lain. Keberadaan amal usaha Muhammadiyah secara tidak langsung memberikan dampak positif khusus untuk warga Muhammadiyah maupun secara umum terhadap masyarakat Indonesia.

Kerangka awal terbentuknya Muhammadiyah tidak lepas dari peran pendirinya, KH Ahmad Dahlan. Gerakan Muhammadiyah dengan keorganisasian dan berbagai kegiatan amal usahanya tetap terpelihara dan menyatu dengan masyarakat. Implikasinya adalah gerakan Muhammadiyah mampu menjadi uswah (teladan) di tengah dinamika perubahan masyarakat.

Namun, tanpa didasari akan menjadi beban tersendiri. Paling tidak inilah yang disanggah Muhammadiyah sehingga gerakannya menjadi lamban. Kegiatan-kegiatan lebih merupakan rutinitas organisasi daripada yang bermuatan positif. Belum lagi orang-orang yang hanya memanfaatkan Muhammadiyah sebagai bagian penyanggah kehidupan ataupun menjadi batu loncatan pribadi maupun kelompoknya. Fenomena yang muncul beberapa waktu lalu, sengaja membuka mata lebar-lebar seluruh elemen yang ada di Muhammadiyah. Tidak hanya kader-kader yang coba diperebutkan tapi dalam bentuk penguasaan hampir di semua level amal usah menjadi target pribadi maupun kelompok tertentu. Hal ini membuktikan bahwa Muhammadiyah belum maksimal dalam menyeleksi perekrutan baik di amal usaha maupun pada jajaran pimpinan Muhammadiyah. Sehingga yang ada adalah kader ataupun pimpinan yang instan (jadi tanpa melalui proses).

Kader yang ada di amal usaha maupun yang ada di pimpinan Muhammadiyah seharusnya paham terhadap langkah-langkah pelembagaan yang menjadi landasan membangun kesadaran dan ikatan kolektif dalam memperjuangkan gerakan Muhammadiyah. Pemikiran dasar KH Ahmad Dahlan, 12 langkah dari KH Mas Mansur, Muqadimmah Anggaran Dasar, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah merupakan rujukan dasar sekaligus perlu disistematisasi dalam konsep terpadu sehingga menjadi basis ideologi gerakan Muhammadiyah yang mengikat seluruh anggota Muhammadiyah dalam melaksanakan gerakan. Dengan mengamalkan rujukan yang telah disebutkan di atas bisa melahirkan kader yang benar-benar militan. Jadi tidak perlu kita pertanyakan lagi apakah kita hanya sebagai kader yang di klaim Muhammadiyah KTA yang hampir sama dengan Islam KTP tadi.

Dimana pun kita berada dan di posisi manapun kita diamanahi, mari bersama-sama kita membangun Muhammadiyah yang sudah berdiri yang telah diskenariokan oleh Allah SWT untuk menjadi organisasi uswah buat umat yang ada sekitar kita. Wallahualam...

Sumber:
- Haedar Nashir, Revitalisasi Muhammadiyah Jelang Satu Abad, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005)
- Mukhaer Pakkanna & Nur Ahmad, Perlunya Tafsir Baru Gerakan Muhammadiyah (Jakarta: Muhammadiyah Menjemput Perubahan,2005)

*) - Staff Deplusospol BEM UAD
- Anggota LPI PDM Kota Yogyakarta
- Sekbid Hikamh PC IMM Djasman Alkindi Kota Yogyakarta

Senin, 08 Oktober 2007

Kesadaran Profetik: Loncatan Kesadaran Sang ‘Khalifah’*

oleh: Aziz Amri*


“Dan Kami hendak memberi karunia

kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu

dan hendak menjadikan mereka pemimpin

dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi”

(QS. Al Qashash: 5)

Pendahuluan

Barangkali orang akan menganggap term kesadaran profetik hanyalah oral wacana dan sekedar ikut arus popularitas ISP (ilmu sosial profetik). Tidak salah memang anggapan tersebut, namun sebagai konsekuensi dari relatifitas sebuah ilmu apalagi hanya wacana, sehingga pada kondisi zaman tertentu bisa saja berubah dan direfisi untuk menemukan substansi atau sekedar mencari grand-term di zaman-nya.

Mulai dari persoalan kesadaranlah tindakan orang akan dapat dijelaskan alasannya. Karena itulah pada tema kesadaran menjadi hangat dibicarakan orang, dari dulu hingga sekarang. Barangkali ketika orang telah berada pada kondisi titik kesadaran tertentu – yang ini juga relatif – akan menemukan teori-teori besar yang menggugah hidupnya bahkan peradaban pada waktu itu. ‘Cogito ergo sum’ muncul juga karena kesadaran seorang Rene Descartes akan kondisi pada waktu itu, dominasi gereja yang sangat otoriter menyebabkan terpasungnya budaya berfikir. Dan banyak tokoh-tokoh lain yang berangkat dari kesadaran dirinya dalam memahami kehidupan ini.

Namun akhir-akhir ini orang juga mulai sadar bahwa banyak tipe kesadaran yang secara kolektif memiliki dampak yang begitu besar terhadap kehidupan. Sehingga perlu adanya tipe kesadaran yang transenden (melampaui) atas tipe kesadaran yang lain. Dalam hal ini penulis berusaha mengkorelasikan istilah kesadaran dan profetik yang sama-sama sedang banyak diperbincangkan orang. Harapannya bahwa kesadaran profetik dapat menjadi alternatif term kesadaran bahkan tidak hanya wacana namun pada akhirnya dapat merevolusikan kesadaran kita sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan di bumi (khalifah fil ardhi) dengan cara menyontek kesadaran seorang nabi, meski kita bukan nabi, namun kesadaran seorang nabi dapat kita tiru, untuk membentuk peradaban baru berdasarkan cita-cita profetiknya.

Wacana ‘kesadaran profetik’ mungkin sudah dapat ditebak kemana arahannya, mencoba mengkolaborasikan kesadarannya Paulo Freire dengan istilah profetiknya Muhammad Iqbal yang dilengkapi dengan pandangannya Kuntowijoyo tentang Etika Profetik.

Pentingnya Kesadaran

Salah satu dimensi yang paling berpengaruh dalam diri seseorang adalah persoalan kesadaran (consciousness). Setiap tidakan seseorang dapat dijelaskan bahkan dapat diprediksi dengan menganalisa kondisi ‘kesadaran’-nya, sehingga karena saking kentalnya nuansa kausalitas diantara keduanya maka begitu juga sebaliknya akan dapat diketahui tingkat kesadaran seseorang dengan menganalisa tindakan dan sikapnya terhadap permasalahan dan realitas yang terjadi.

Kesadaran merupakan kondisi internal seseorang, yang tidak sekedar sadar dalam arti fisik, namun lebih dari itu, sadar terhadap realitas yang terjadi dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai manusia. Freire menganggap bahwa kesadaran adalah prasyarat untuk mengetahui realitas. Sehingga seringkali dengan sikap yang demikian Freire dituduh sebagai seorang idealis yang sering mengubah realitas sosial dengan perubahan pada kesadaran manusia.

Disitulah Freire menunjukkan betapa pentingnya sebuah kesadaran, karena hanya dalam kondisi sadarlah seorang manusia dapat mengetahui realitas yang sesungguhnya (realitas tersembunyi) sehingga diharapkan dengan modal kesadarannya manusia dapat merubah realitas sosial menuju yang lebih baik.

Bagi masyarakat yang dinamis pembongkaran kesadaran penting sekali untuk dilakukan untuk membangun dunia yang baru. Peradaban manusia akan senantiasa dinamis jika terdapat proses kritisasi akan kondisi yang ada. Dengan adanya kritisasi tersebut maka akan diketahui dimana letak kelemahan dari keadaan yang sedang terjadi. Disinilah kesadaran memainkan perannya, dimana kesadaran merupakan cara untuk memahami sebuah kesatuan kolektif, dimana seseorang menemukan hubungan antara subjektifitas dan objektifitas, sehingga kita dapat menghindarkannya dari kesalahan subjektifis maupun mekanistis.

Jika manusia baik secara individu maupun kolektif berada dalam kondisi ketidaksadaran maka peradaban akan senantiasa statis, status quo tidak dapat ditumbangkan, kemerdekaan tidak akan terjadi, manusia akan selalu dibentuk oleh kenyataan yang pada dasarnya adalah bentukan dari budaya manusia. Menurut Freire manusia adalah pencipta dari sejarahnya sendiri, dalam mencipta sejarah manusia tentu memiliki kesadaran tertentu, yang akan membawa sejarah kehidupannya mau seperti apa.

Tipologi Kesadaran

Analisa terhadap kesadaran akan dapat diketahui alasan atas kondisi realitas suatu masyarakat/peradaban. Dalam hal ini Paulo Freire menganalogikan tiga tipologi kesadaran yaitu magis, naif dan kritis. Kesadaran magis (magical consciousness) adalah kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka degan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dari ketidakberdayaannya. Sehingga kesadaran yang demikian tidak memiliki kemampuan analisa kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat, kenyataan yang terjadi dianggap sebagai suratan takdir yang tidak dapat diganggu gugat.

Kesadaran kedua, yaitu kesadaran naif (naival consciousness) yang lebih melihat aspek manusia menjadi akar permasalahan dalam masyarakat, dalam kesadaran ini masalah etika, kreatifitas, need for achievement dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena salah masyarakat itu sendiri. Kesadaran ini menganggap bahwa sistem dan struktur sudah baik dan benar (mapan) yang merupakan faktor given, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Pola adaptif begitu kental dalam pola kesadarannya, tidak ada upaya modifikasi struktur apalagi sistem yang ada. Kesadaran naif-pun belum mampu memberikan tawaran solusi dari problem sosial, bahkan untuk memetakan secara sistematis suatu permasalahan masih kurang mampu, segala kritik terhadap sistem dan struktur dianggap tabu.

Kesadaran ketiga adalah kesadaran kritis (critical consciousness) yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural dan analisa krutus terhadap struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan implikasinya terhadap masyarakat menjadi sorotan utama. Dalam kesadaran kritis, ketidakadilan diidentifikasi secara mendalam dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur tersebut bekerja.

Kemudian ada yang berpendapat tentang kesadaran yang lebih dari sebelumnya dalam istilah lain “kesadarannya kesadaran” (the conscie of the consciousness) yaitu kesadaran transformatif, dimana orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan.

Menuju Kesadaran Profetik

Istilah ‘kesadaran profetik’ sengaja penulis ambil, bukan dalam rangka untuk ‘menyaingi’ tipologi kesadaran yang selama ini diwacanakan, namun lebih dari itu bahwa manusia dalam derajatnya sebagai khalifah di muka bumi seharusnya memiliki kontrol penuh akan jalannya peradaban, dan ini hanya akan tercapai ketika memiliki kesadaran. Kemudian istilah ‘profetik’ diambil dari pemikiran Muhammad Iqbal yang mengutip perkataan seorang mistikus Islam dari Ganggah yaitu Abdul Quddus, bahwa “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi”. Iqbal menganggap terdapat perbedaan antara kesadaran seorang Nabi dengan kesadaran seorang mistikus/sufi. Dalam peristiwa Mi’raj-nya Rasulullah, Beliau tidak terlena ketika telah bertemu dengan sang kekasih sejati, yang dalam anggapan mistikus tadi adalah kebahagiaan yang sempurna ketika bertemu dengan sang pencipta.

Kesadaran seorang Nabi selain tidak terlena akan kebahagiaan individu, juga karena Nabi sadar bahwa memiliki tanggung jawab ‘teoantroposentris’, bahwa kehadiran dirinya diperlukan oleh umat untuk kemudian merubah kondisi zaman menuju peradaban yang madani. Nabi selain sebagai sosok tauladan juga sebagai sosok pembebas dari semua penindasan yang terjadi di muka bumi. Gerakan pembebasan (liberatif) yang dilakukan Nabi Muhammad bukan karena kebetulan namun penuh kesadaran akan kondisi realitas yang terjadi sehingga menjadi keharusan sejarah Beliau muncul ditengah-tengah bangsa Arab yang pada waktu itu berada dalam kondisi paling terbelakang (jahiliyah), baik dalam hal sosial, ekonomi, politik, religius, dan lainya.

Kesadaran seorang Nabi (kesadaran profetik) inilah yang seharusnya kita – dalam hal ini sebagai khalifah dil ardh – tanamkan sebagai pola kesadaran yang berorientasi pada perubahan peradaban dan pembebasan. Untuk itu kemudian mengadopsi etika profetiknya Kuntowijoyo dalam menerjemahkan QS. Ali Imron: 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”.

Dalam proses kesadarannya Kuntowijoyo menjelaskan terdapat tiga etika profetik dalam ayat tersebut, yang agar memiliki sosial significance maka beliau terjemahkan dalam bahasa ilmu yaitu Amar Ma’ruf (humanisasi), Nahy Munkar (liberasi) dan Tu’minuuna Billah (transendensi).

Humanisasi (amar ma’ruf), dalam hal ini hasil penerjemahan dari konsep Amar Ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan), sebagai proses pengangkatan derajat manusia kembali (memanusiakan manusia) yang selama ini terjerembab dalam kondisi yang tidak lagi berkuasa atas jalannya peradaban, manusia telah berada pada posisi paling bawah sehingga hilang identitas kemanusiaannya sebagai akibat sistem dan peradaban yang dibuatnya sendiri. Betapa tidak ketika kita lihat dalam dunia industri, dimana posisi manusia yang seharusnya menjadi pengendali mesin, namun saat ini manusia malah tunduk pada mesin, atau bahkan telah menjadi makhluk anorganik/mekanis yang tidak lain menjadi mesin itu sendiri.

Tidak hanya persoalan dalam masyarakat technokrasi yang menyebabkan runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan, namun dampak dari itu (industrialisasi) yaitu otoritarianisme, neofeodalisme, dan budaya militerisme juga menyebabkan turunnya derajat manusia. Manusia lama-kelamaan hilang kemanusiaannya akibat proses dehumanisasi, maka dari itu, proses humanisasi diperlukan untuk meningkatkan lagi derajat manusia.

Liberasi (nahy munkar), dalam hal ini pembebasan (liberasi) yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo adalah dalam sempat sasaran yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik. Liberasi dalam sistem pengetahuan ialah usaha-usaha untuk membebaskan orang dari sistem pengetahuan materialistis, dan dari dominasi struktur, misal kelas dan seks. Dalam hal sistem sosial maka pembebasan dilakukan pada aspek perombakan sistem monokultur yang sekarang masyarakat berbondong-bondong ke arahnya yaitu sistem sosial industrial. Pembebasan dalam aspek ekonomi bukan dalam artian privatisasi maupun konsep ekonomi liberal, justru liberasi dalam hal ekonomi berusaha membebaskan dari belenggu dominasi ekonomi dalam hal ini ekonomi kapitalis sebagai sampel paradigma ekonomi yang mendominasi sehingga perlu dilakukan pembebasan dari belenggu kapitalis. Kemudian liberasi politik berarti membebaskan sistem dari otoritarianisme, diktator, dan neofeodalisme.

Transendensi (tu’minuuna billah). Semangat postmodernisme ikut memperngaruhi dalam wacana transendensi yaitu dengan dedifferensiasi-nya (agama kembali menyatu dalam kehidupan ‘dunia’). Aspek transendensi menunjukkan bahwa tidak ada keterputusan antara proses humanisasi dan liberasi dengan nilai-nilai ilahiah (transendental value).

Ketiga unsur profetik (humanisasi, liberasi dan transendensi) tersebut menjadi kerangka dasar dari konsep kesadaran profetik. Kesadaran profetik meniscayakan adanya integrasi dari ketiga unsur tadi dalam pemahaman dan kesadaran.

Kesadaran profetik merupakan loncatan kesadaran manusia (khalifah fil ardh) menuju kesadaran Nabi yang berorientasi pada perubahan menuju tatanan masyarakat sebagaimana dalam ayat yang sama (QS. Ali Imron :110) disebut sebagai “Khairu Ummah” (umat yang terbaik) dalam bahasa yang lain yaitu masyarakat madani. Dengan cara inilah kita dapat meniru semangat kenabian yang selalu hadir untuk membebaskan umatnya dari belenggu keterpurukan.

Kesadaran Profetik sebagai Basic Structure Bangunan Perubahan

Dalam kondisi hari ini yang kian hari tidak menemukan titik terang kehidupan, justru malah semakin terpuruk dalam kondisi yang sesungguhnya akibat perbuatan manusia sendiri. Agenda perubahan menjadi suatu cita-cita setiap insan atau komunitas yang menolak segala bentuk status quo. Sehingga pada akhirnya perubahan adalah sebuah bentuk keniscayaan.

Berangkat dari semangat perubahan tersebut maka muncul pertanyaan darimana memulai perubahan tersebut? Caranya seperti apa? Barangkali sekedar untuk memperkaya wacana, untuk melakukan sebuah perubahan maka yang harus dilakukan pertama kali adalah perubahan dalam dataran kesadaran, dalam hal ini kesadaran insaniah kita revolusikan menuju kesadaran profetik (kesadaran seorang nabi) yang memiliki orientasi pembentukan tatanan umat yang ideal, ‘khairu ummah’ atau madani.

Kesadaran Profetik kita jadikan sebagai basic structure (struktur dasar) atas bangunan perubahan. Apa yang dilakukan seorang nabi (semangat perubahan dan tanggung jawab atas umatnya) perlu kita tiru sebagai modal untuk melakukan perubahan, baik dalam scope lokal maupun global.

Kemudian untuk membentuk kesadaran profetik dalam diri seseorang, maka Freire berperan besar dalam segenap teorinya tentang pendidikan adalah proses penyadaran (conscientizacao). Pendidikan sebagai metode untuk menginternalisasikan kesadaran dalam diri seseorang, tentu dengan pola pendidikan yang profetis. Pendidikan selain dijadikan sebagai penyadaran akan realitas yang terjadi, juga penyadaran akan tanggung jawabnya yang transenden (melampaui) sebagai khalifah dan penerus para Nabi.

Mengutip pendapat Freire: “pendidikan teologis haruslah lebih dari suatu bentuk tindakan kultural untuk pembebasan yang dengannya manusia menggantikan pemahaman naif tentang Tuhan – sejauh berbentuk mitos dan telah menyebabkan manusia terasing – dengan pemahaman yang lain: bahwa Tuhan, sebagai suatu kehadiran dalam sejarah, tidak menghalangi manusia “membuat sejarah”: sejarah pembebasan mereka”. Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tidak ada pertentangan antara semangat transendensi (ilahiah) dengan semangat pembebasan, hal inilah yang dimiliki seorang Nabi, sehingga pola pendidikan yang seharusnya dilakukanpun juga mengarah pada pembentukan kesadaran seorang Nabi.

Penutup

Kesadaran Profetik sebagai alternatif kesadaran manusia dalam berproses dalam hidup ini, baik secara individu maupun kolektif, dengan harapan bahwa akan muncul manusia-manusia yang berorientasi sebagaimana seorang Nabi melakukan tugas kenabiannya yakni pembebasan, namun tidak lepas dari kerangka ilahiah sebagai grand idea dalam melakukan perubahan tersebut.

Perubahan harus dimulai dari persoalan yang paling mendasar, yaitu Kesadaran, baik individu maupun kolektif, hanya dengan cara inilah perubahan dapat terjadi dan memiliki arah yang jelas sesuai misi kenabian yaitu mewujudkan ‘khairu ummah’. Wallahu a’lam…


* Wakil Presiden BEM UAD

Sabtu, 06 Oktober 2007

Indonesia Kecolongan Malaysia : Kemarin Pulau dan TKI, sekarang Lagu (Budaya)..?

Oleh: M Rivai Tuhuleley *

Lagi-lagi permasalahan mencuat antara Indonesia dan Malaysia. Belum lama ini kita selalu dihadapkan dengan masalah-masalah TKI yang ada di Malaysia, perebutan pulau yang ada di perbatasan keduan Negara, dan juga penganiayaan wasit Indonesia oleh kepolisian diraja Malaysia. Sekarang Indonesia kecolongan lagi dengan beredarnya iklan pariwisata negeri Jiran yang memakai lagu Rasa Sayangee.

Lagu atau musik daerah yang merupakan bagian dari instrumen budaya memiliki nilai historis yang cukup berpengaruh di masyarakat kita. Rasa sayange merupakan lagu khas dan kebanggaan masyarakat Maluku. Kini lagu tersebut menjadi salah satu soundtrack iklan pariwisata di negeri Jiran itu. Reaksi pun muncul dari masyarakat kita, karena secara jelas lagu tersebut adalah lagu dari Maluku yang hampir semua masyarakat Indonesia mengetahuinya.

Gubernur Maluku tidak tinggal diam dengan hal ini. Beliau beserta jajarannya yang terkait bersama masyarakat Maluku melakukan pencarian mengenai histories dari lagu tersebut sebagai bukti keabsahannya. Hasilnya akan diserahkan langsung ke menteri Pariwisata RI untuk dibuktikan kepada Pemerintah Malaysia.

Pemerintah seharusnya belajar dari lepasnya salah satu pulau terluar dari gugusan pulau di Nusantara yang ada di perbatasan kedua Negara. Dimana pemerintah tidak bisa menyalamatkan pulau tersebut karena tidak mempunyai bukti otentik untuk kepemilikan pulau tersebut. Dokumentasi terhadap dokumen-dokumen Negara ini belum di maksimalkan sehingga dengan gampang bangsa ini akan di lucuti satu per satu apa yang dimiliki bangsa.

Dengan demikian pemerintah harus memaksimalkan peran tersebut sebagaimana pertahanan dan keamanan kita tidak lagi kecolongan dari Negara lain yang terus seenaknya terhadap Negara kita. Wallahualam bissawab…

*) - Sekbid Hikmah PC Djasman Alkindi Kota Yogyakarta
- Staff Menlusospol BEM UAD Yogyakarta






Jumat, 05 Oktober 2007

Tarikan Politik Bagi Muhammadiyah Menuju 2009

Oleh: M Rivai Tuhuleley

Pemilihan presiden (Pilpres) atau yang biasa kita kenal dengan Pemilihan Umum (Pemilu) kurang dari dua tahun lagi. Namun gelagat partai politik mulai melakukan manufer-manufer politik untuk menjaring calon orang nomor satu atau pun mencari pendamping untuk orang nomor satu di Indonesia. PDIP melalui Rapar Kerja Nasional II (Rakernas) menentukan Ketua Umum partai tersebut yaitu Megawati Soekarnoputri menyatakan siap melaju memperebutkan kursi RI 1. Tidak hanya Mega saja yang menyatakan siap melalui PDIP, Sutiyoso (Bang Yos) yang tinggal berapa hari mencopot jabatan Gubernur DKI pun sudah mencuri start awal mengusung untuk bertarung memperebutkan kursi RI 1 tersebut.

Muhammadiyah merupakan basis masa yang cukup besar pun menjadi target dari partai politik. Presiden PKS Tifatul Sembiring manyatakan Ketua Umum Muhammadiyah Dien Syamsuddin menjadi salah satu dari tiga calon untuk disiapkan bertarung melawan Megawati untuk RI 1. Disisi lain bang Dien juga ditawarkan menjadi pendamping Mega dalam pilpres 2009. Sikap dingin yang diambil bang Dien dengan melihat kondisi sekarang ini apakah menunjukan konsistensi beliau di Muhammadiyah?

Tawaran-tawaran yang cukup menggiurkan ini akan berdampak juga bagi Muhammadiyah. Ketika putusan bersama bahwa Pimpinan yang ada di Muhammadiyah khususnya di Pimpinan Pusat tidak akan ikut dalam partai politik apapun. Bang Dien harus punya sikap tegas untuk hal ini. Konsistensi Muhammadiyah untuk tidak berpolitik pun menjadi taruhan. Konsekuensi keputusan ketika harus ikut dalam pencalonan pilpres adalah mundur sebagai Ketua Umum atau log out dari pilpres. Sehingga Muhammadiyah bisa menjadi oraganisasi yang konsisten.

Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa ini juga membutuhkan tokoh-tokoh yang konsisten. Dan Muhammadiyah pun memiliki itu. Kita sebagai masyarakat Muhammadiyah harus bisa objektif dalam melihat keputusan yang diambil nanti oleh bang Dien. Sehingga tidak konflik-konflik yang tidak seharusnya terjadi di Muhammadiyah. Warga muhammadiyah pun harus siap dalam Pemilihan Presiden besok, dan bisa istiqomah bermuhammadiyahnya. Wallahu alam bissawab…


Kamis, 04 Oktober 2007

IBADAH SARANA PENCAPAIAN SURGA

Oleh:
M Rivai Tuhuleley


Masyarakat modern yang “terpelajar/intelek” dewasa ini tengah menghadapi krisis religius; zaman di mana ilmu pengetahuan telah merubah keseluruhan segi kehidupan manusia. Ketika ilmu pengetahuan semakin berkembang dan fakta-fakta ilmiah yang merujuk pada kenyataan empiris yang terobsesi oleh kesenangan jasmaniah saja, manusia tidak mengakui adanya kekuatan yang lebih tinggi, yang mengawasi dan mengendalikan hasrat manusia. Karena dibutakan oleh keserakahan dan nafsunya, tiap orang ingin mendapatkan apa pun yang bisa ia inginkan dalam waktu sesingkat mungkin. Hal-hal seperti ini menjadikan manusia semakin jauh dari Tuhannya. Persoalan religius seperti ibadah tidak lagi menjadi pedoman yang pokok dalam kehidupan duniawi dan akhirat nantinya.

Kita sebagai muslim ‘terpelajar’ tidak boleh terperangkap dalam cara berpikir seperti itu, walaupun kita tidak bisa pungkiri bahwa ilmu pengetahuan memang menjadi salah satu hal penting dalam ibadah. Seperti dalam bidang astronomi, geografi, biologi, dan lainnya, dimana kita akan melihat suatu kenyataan penting bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa dikembangkan secara baik dan bermaslahat tanpa beriman pada Allah.

Pemahaman ibadah di sini adalah sebagai suatu wadah untuk berdialog/berhubungan dengan Tuhan dengan segenap perbuatan atau sikap merendahkan diri, patuh dan taat, ketundukkan hati yang sesuai dengan apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab yang diemban kita sebagai makhluk ciptaan Allah, yaitu mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini difirmankan Allah dalam Al Qur’an sebagai berikut:

“Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”(Q.S. Al Mu’Min: 65)

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Q.S. Ali’Imran:18).
Sedangkan pengertian ibadah menurut syariat yang dijelaskan para ulama besar kita seperti Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, yang menyoroti ibadah dengan pandangan yang dalam dan luas. Ia mengartikan ibadah sebagai puncak kepatuhan dan ketundukan. Baginya terdapat unsur baru yang mempunyai kepentingan besar dalam Islam, dan bahkan meliputi seluruh agama (Samawi), yaitu suatu unsur di mana peribadatan tidak terlahir secara benar sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah selain dengan mempergunakannya. Hal yang dimaksud itu adalah unsur Al-hubb (cinta). Tanpa memasukkan unsur ini, tidak akan ditemui ibadah, sebagaimana telah diciptakan Allah bagi makhluk, dan dengan cinta pula Allah mengutus rasul dan menurunkan kitab. Dalam risalahnya, Al-‘Ubudiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Mendekatlah kepada Allah, maka ia pun mendekat kepada Allah; maksudnya ialah ia menyembah Allah, menaati, dan tunduk kepada-Nya. Jadi, mendekatkan diri kepada Allah berarti beribadat, menaati, dan tunduk kepada-Nya”.

Sesungguhnya hati manusia selamanya merasakan kebutuhan kepada Allah, ia merupakan rasa yang timbul sejak dini, yang benar, dan yang tidak dapat dikelabui. Kekosongannya tidak dapat dipenuhi oleh sesuatu pun selama wujud (ada), kecuali kebaikan shillah (persambungan) bersama Tuhan Yang Wujud. Inilah latar belakang, mengapa manusia harus mendirikan ibadah, jika ditinjau menurut sudut kebenarannya. Ibnu Taimiyah mengatakan, hati, sesungguhnya secara zatiyah membutuhkan Allah, paling tidak dari dua segi:
1. Ibadah
2. Permohonan pertolongan dan tawakal.
Namun demikain, hal ini tidak dapat dicapai hati, kecuali melalui I’anah (pertolongan) Allah atas dirinya. Karena hati memang tidak mampu mencapai hal itu tanpa bantuan Allah. Seorang manusia tidak akan menjadi manusia sempurna tanpa melakukan ibadah.




Di dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan mengenai hamba-hamba-Nya yang dimuliakan, dengan memperoleh predikat Ar-Rahman, kemudian mereka dinamakan ‘Ibadurrahman. Mereka-mereka disanjung-sanjung karena kebaikan amal-amalnya, kemudian ditetapkan daripadanya akan perlindungan mereka dari api neraka. Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata: ‘ Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.’ Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. ”(Al Furqaan: 65-66)

Allah juga menjelaskan tentang tokoh-tokoh Al-‘Arifin (golongan orang-orang yang makrifat kepada Allah), mereka dikaruniai pengetahuan yang kuat, tetapi mereka tetap meminta surga-Nya dan memohon perlindungan dari azab neraka. Tidak perlu diperselisihkan, bahwa janji Allah yang disampaikan melalui lisan rasul-Nya adalah hendak memberikan surga, sebagaimana yang diminta mereka. Allah menjelaskan kepada kita tentang surga. Dikatakan, bahwa surga adalah tempat yang dijanjikan Allah dan diminta. Maksudnya, ia (surga) adalah yang selalu diharapkan dan diminta oleh para hamba dan wali-Nya yang tertuju kepada Dia sendiri. Di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul itu sendiri banyak juga diwarnai penjelasan tentang pujian yang diberikan kepada hamba-hamba Allah dan para wali-Nya, meliputi permohonan mereka akan surga dan derajat (kedudukan)nya, serta mohon perlindungan kepada Allah dari azab neraka dan ketakutan mereka kepadanya.

Maka dari penjelasan yang dituturkan diatas, ibadah bertujuan agar manusia mengetahui kedudukan dirinya sebagai makhluk yang membutuhkan (fakir), tiada daya kekuatan timbul daripadanya, kecuali bermula dari Tuhannya. Ia tidak mempunyai kekuatan pegangan selain kepada-Nya, ia tidak mempunyai ketegaran mandiri dari dirinya sendiri, dan dengan ia mengetahui kedudukan Tuhan Yang Maha Tinggi dan Besar lagi Maha Kaya, yang meliputi alam semesta.

Tujuan ibadah menurut pendapat Imam Syathibi yang mendasar (pokok) adalah Tawajjuh (menghadap) kepada Yang Maha Esa, Tuhan yang disembah dan mengesankan-Nya dengan niat ibadah dalam setiap keadaan, hal itu diikuti tujuan penyembahan guna memperoleh kedudukan di akhirat, atau agar menjadi seorang di antar wali-wali Allah atau serupa dengannya. Termasuk tujuan- tujuan yang mengikuti ibadah adalah untuk perbaikan jiwa dan mencari anugerah.

Maka jelas sekali ibadah merupakan suatu wadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhoan-Nya. Dengan demikian sudah jelas bahwa Allah menjanjikan surga yang abadi kelak nantinya, sesuai dengan amal ibadah yang kita perbuat di dunia.

 







AL-QURAN TIDAK TURUN DI RUANG HAMPA: “MEMAHAMI TESIS ABU ZAYD”

“PERADABAN Islam adalah peradaban teks” demikian tesis Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir asal Mesir yang sudah dikenal luas di dunia Islam itu (Abu Zayd: 2003). Pernyataan Abu Zayd dibenarkan oleh produk pemikiran Islam dari abad ke abad yang terus merujuk teks. Yang dimaksud teks di sini adalah al-Quran. Kitab-kitab fiqih, bisa dikatakan sebagai bentuk penjabaran dari peradaban teks tersebut. Di lain sisi, peradaban Barat sering disebut peradaban konsep. Peradaban Islam meksi juga berasas pada konsep, tapi (lagi-lagi) merujuk teks. Artinya, peradaban Islam selalu memosisikan teks sebagai poros utama.


Agak senada dengan Abu Zayd, Muhammad Abed Al-Jabiri, pemikir asal Maroko, mengistilahkan peradaban Islam dibangun atas Nalar Bayani. Bagi Al-Jabiri, Nalar Bayani berakar dari pemikiran Imam asy-Syafi’i (9 M) yang menjadikan teks sebagai rujukan utama dalam merespons pelbagai persoalan. Syafi’i selalu menggunakan kacamata teks untuk memotret realitas kemanusiaan. Rasio hanya digunakan untuk peran mediasi dan penjelas teks yang bagaimanapun tetap menjadi otoritas utama (al-Jabiri, 2000). Teks tidak dilihat sebagai simbol partikular yang diproduksi budaya tertentu, melainkan bahasa langit yang absolut. Teks selalu menjadi parameter, sementara masyarakat dan budaya mengikut alurnya. Akibatnya, tidak ada kontekstualisasi makna teks, sebab teks dipersepsi memiliki makna tunggal yang permanen.

Meski tidak menolak otoritas teks, namun al-Jabiri menyayangkan Nalar Bayani dijadikan epistemologi reproduksi syari’at Islam. Sebab baginya, itu hanya akan menjauhkan penafsir dari tujuan teks. Nalar Bayani memandang tanda, identik dan permanen dengan maknanya. Konsekuensinya akan melahirkan karya-karya tafsir yang menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran dipersepsi (hanya) dapat diungkap oleh satu macam arti karena alasan sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dan maknanya di dunia ide, dianggap baku dan tak dapat diganggu gugat. Nalar Bayani telah menutup peran akal untuk mengelaborasi maksud dan tujuan teks. Bagi nalar ini, tak ada tujuan syari’at (maqâshidus syari’ah) yang bisa dipertimbangkan untuk dikontekstualisasikan dengan realitas kontemporer.

Dengan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa teks tak bisa dilepaskan dari gerak peradaban umat Islam. Namun persoalannyaa adalah teks yang diartikan secara literal. Maksudnya, teks yang (sesungguhnya) merupakan produk sejarah -- dan karena itu profan -- dalam prakteknya dipandang bertuah, sakral, dan melampaui sejarah. Maka terjadilah kesenjangan antara teks dan realitas kemanusiaan. Kesenjangan itu bisa berbentuk kegagapan akan modernitas, sehingga menimbulkan rasa terasing, sikap anti Barat, serta upaya menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam yang dianggap “murni”: sebagaimana yang dikandung teks Al-Quran dan Sunnah. Upaya menggapai yang “murni” ini, memunculkan gerakan pemurnian (puritanisasi) atas hal-hal yang dianggap bukan asli Islam.

Kegagapan lain berupa ketidakmampuan mengaitkan antara Islam dengan persoalan kemanusiaan universal seperti kemiskinan, diskriminasi, eksploitasi, marginalisasi, kebodohan, korupsi, dsb. Padahal, yang menjadi raison d’etre kehadiran Nabi justru untuk mengatasi problem-problem tersebut. Agenda perjuangan Nabi Muhammad, sesungguhnya adalah pembebasan manusia dari belenggu dan eksploitasi kelompok tertentu. Konsep tauhid beliau selalu bertalian erat dengan proses perubahan sosial dari tatanan yang eksploitatif menuju yang berkeadilan. Oleh karena itu, ketika Islam tidak lagi dikaitkan dengan ide besar transformasi sosial, maka sesungguhnya usaha tersebut telah mengkhianati semangat kelahirannya sendiri.

Di sinilah letak penting upaya menafsir ulang (rethinking) teks yang dikumandangkan intelektual muslim dari pelbagai penjuru dunia: Al-Jabiri (proyek Kritik Nalar Arab), Arkoun (Kritik Nalar Islam), Essack (Hermeneutika Pembebasan), Hanafi (Kiri Islam), dan seterusnya. Tanpa meninggalkan teks, mereka menawarkan metodologi untuk mempertahankan eksistensi keberagamaan kita saat ini. Sementara itu, persoalan besar akan selalu menghantui kelompok puritan, utamanya ketika mereka meniscayakan ketundukan atas al-Quran dalam bentuknya yang tekstual. Ketika teks diposisikan sebagai barang transenden, tidak terpengaruh hiruk-pikuk soal kemanusiaan, maka ia akan mati. Teks, oleh mereka diposisikan monointerpretatif: ditafsirkan sekali untuk berlaku selamanya. Makna yang dikandung teks, bagi mereka identik dan permanen dengan teks. Padahal teks adalah produk budaya. Al-Quran sebagai firman Allah yang direkam dalam bentuk teks, diproduksi oleh sebab dan peristiwa yang biasa dikenal sebagai asbâbun nuzûl.

Pada titik ini, Abdullahi Ahmed an-Na’im, pemikir asal Sudan itu, membedakan ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekkah dan ayat-ayat Madinah. Menurutnya, ayat-ayat Mekkah mengandung gagasan kemanusiaan universal yang tak terikat dan terbatas identitas agama. Sementara ayat-ayat Madinah bersifat sebaliknya (an-Na’im, 2001). Perbedaan karakter ayat-ayat tersebut disebabkan perbedaan setting sosial yang berbeda. Al-Jabiri membagi kandungan teks al-Quran menjadi tiga: Pertama, teks yang mengandung universalisme syari’at. Kedua, teks yang memuat hukum-hukum partikular. Dan ketiga, teks yang menunjukkan tujuan-tujuan serta latar belakang tertentu dari agama (al-Jabiri, 2003). Di sini Al-Jabiri memilah antara teks yang mengandung universalisme nilai syari’at dengan teks yang beroperasi dalam penerapan syari’at pada masa dan tempat tertentu. Yang pertama bersifat permanen dan tujuan, sementara yang kedua adalah hasil dialog antara teks dengan realitas yang terkurung oleh ruang dan waktu.

Persoalan warisan mencerminkan kompromi Islam antara teks dengan realitas. Pada masa Nabi, masyarakat Arab terbiasa melangsungkan pernikahan antar suku demi persaudaraan dan persahabatan. Namun itu justru bermasalah dan menimbulkan konflik, sebab perempuan yang menjadi istri suku lain, hartanya otomatis menjadi milik suku suaminya waktu bagi-bagi warisan. Ini menyebabkan penumpukan harta pada suku suami. Oleh karena itu, masyarakat Arab lalu meniadakan hak waris bagi perempuan agar tidak terjadi peperangan yang dipicu urusan warisan. Namun ketika Islam datang, al-Quran justru memutuskan hak perempuan setengah dari hak laki-laki. Ketetapan itu berangkat dari iktikad untuk menghormati hak perempuan dalam konteks zaman itu.

Dari contoh di atas, tampak jelas betapa al-Quran tidak turun di ruang hampa. Dari contoh-contoh sedemikianlah al-Quran terkonstruksi secara kultural dan terstruktur secara historis. Makanya, jika pembacaan atasnya dilepas dari unsur budaya yang mengonstruksinya, maka dia akan terasa asing dan kehilangan relevansi. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kandungan tekstual al-Quran tidak berlaku sepanjang zaman dan pada setiap tempat. Al-Quran terkurung dalam ruang dan waktu. Seperti inilah model pembacaan hermeneutika: hakikat al-Quran tidak diperdebatkan, melainkan peran dan cara memahaminyalah yang dipersoalkan.

 * Muhsin Hariyanto