Senin, 08 Oktober 2007

Kesadaran Profetik: Loncatan Kesadaran Sang ‘Khalifah’*

oleh: Aziz Amri*


“Dan Kami hendak memberi karunia

kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu

dan hendak menjadikan mereka pemimpin

dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi”

(QS. Al Qashash: 5)

Pendahuluan

Barangkali orang akan menganggap term kesadaran profetik hanyalah oral wacana dan sekedar ikut arus popularitas ISP (ilmu sosial profetik). Tidak salah memang anggapan tersebut, namun sebagai konsekuensi dari relatifitas sebuah ilmu apalagi hanya wacana, sehingga pada kondisi zaman tertentu bisa saja berubah dan direfisi untuk menemukan substansi atau sekedar mencari grand-term di zaman-nya.

Mulai dari persoalan kesadaranlah tindakan orang akan dapat dijelaskan alasannya. Karena itulah pada tema kesadaran menjadi hangat dibicarakan orang, dari dulu hingga sekarang. Barangkali ketika orang telah berada pada kondisi titik kesadaran tertentu – yang ini juga relatif – akan menemukan teori-teori besar yang menggugah hidupnya bahkan peradaban pada waktu itu. ‘Cogito ergo sum’ muncul juga karena kesadaran seorang Rene Descartes akan kondisi pada waktu itu, dominasi gereja yang sangat otoriter menyebabkan terpasungnya budaya berfikir. Dan banyak tokoh-tokoh lain yang berangkat dari kesadaran dirinya dalam memahami kehidupan ini.

Namun akhir-akhir ini orang juga mulai sadar bahwa banyak tipe kesadaran yang secara kolektif memiliki dampak yang begitu besar terhadap kehidupan. Sehingga perlu adanya tipe kesadaran yang transenden (melampaui) atas tipe kesadaran yang lain. Dalam hal ini penulis berusaha mengkorelasikan istilah kesadaran dan profetik yang sama-sama sedang banyak diperbincangkan orang. Harapannya bahwa kesadaran profetik dapat menjadi alternatif term kesadaran bahkan tidak hanya wacana namun pada akhirnya dapat merevolusikan kesadaran kita sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan di bumi (khalifah fil ardhi) dengan cara menyontek kesadaran seorang nabi, meski kita bukan nabi, namun kesadaran seorang nabi dapat kita tiru, untuk membentuk peradaban baru berdasarkan cita-cita profetiknya.

Wacana ‘kesadaran profetik’ mungkin sudah dapat ditebak kemana arahannya, mencoba mengkolaborasikan kesadarannya Paulo Freire dengan istilah profetiknya Muhammad Iqbal yang dilengkapi dengan pandangannya Kuntowijoyo tentang Etika Profetik.

Pentingnya Kesadaran

Salah satu dimensi yang paling berpengaruh dalam diri seseorang adalah persoalan kesadaran (consciousness). Setiap tidakan seseorang dapat dijelaskan bahkan dapat diprediksi dengan menganalisa kondisi ‘kesadaran’-nya, sehingga karena saking kentalnya nuansa kausalitas diantara keduanya maka begitu juga sebaliknya akan dapat diketahui tingkat kesadaran seseorang dengan menganalisa tindakan dan sikapnya terhadap permasalahan dan realitas yang terjadi.

Kesadaran merupakan kondisi internal seseorang, yang tidak sekedar sadar dalam arti fisik, namun lebih dari itu, sadar terhadap realitas yang terjadi dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai manusia. Freire menganggap bahwa kesadaran adalah prasyarat untuk mengetahui realitas. Sehingga seringkali dengan sikap yang demikian Freire dituduh sebagai seorang idealis yang sering mengubah realitas sosial dengan perubahan pada kesadaran manusia.

Disitulah Freire menunjukkan betapa pentingnya sebuah kesadaran, karena hanya dalam kondisi sadarlah seorang manusia dapat mengetahui realitas yang sesungguhnya (realitas tersembunyi) sehingga diharapkan dengan modal kesadarannya manusia dapat merubah realitas sosial menuju yang lebih baik.

Bagi masyarakat yang dinamis pembongkaran kesadaran penting sekali untuk dilakukan untuk membangun dunia yang baru. Peradaban manusia akan senantiasa dinamis jika terdapat proses kritisasi akan kondisi yang ada. Dengan adanya kritisasi tersebut maka akan diketahui dimana letak kelemahan dari keadaan yang sedang terjadi. Disinilah kesadaran memainkan perannya, dimana kesadaran merupakan cara untuk memahami sebuah kesatuan kolektif, dimana seseorang menemukan hubungan antara subjektifitas dan objektifitas, sehingga kita dapat menghindarkannya dari kesalahan subjektifis maupun mekanistis.

Jika manusia baik secara individu maupun kolektif berada dalam kondisi ketidaksadaran maka peradaban akan senantiasa statis, status quo tidak dapat ditumbangkan, kemerdekaan tidak akan terjadi, manusia akan selalu dibentuk oleh kenyataan yang pada dasarnya adalah bentukan dari budaya manusia. Menurut Freire manusia adalah pencipta dari sejarahnya sendiri, dalam mencipta sejarah manusia tentu memiliki kesadaran tertentu, yang akan membawa sejarah kehidupannya mau seperti apa.

Tipologi Kesadaran

Analisa terhadap kesadaran akan dapat diketahui alasan atas kondisi realitas suatu masyarakat/peradaban. Dalam hal ini Paulo Freire menganalogikan tiga tipologi kesadaran yaitu magis, naif dan kritis. Kesadaran magis (magical consciousness) adalah kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka degan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dari ketidakberdayaannya. Sehingga kesadaran yang demikian tidak memiliki kemampuan analisa kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat, kenyataan yang terjadi dianggap sebagai suratan takdir yang tidak dapat diganggu gugat.

Kesadaran kedua, yaitu kesadaran naif (naival consciousness) yang lebih melihat aspek manusia menjadi akar permasalahan dalam masyarakat, dalam kesadaran ini masalah etika, kreatifitas, need for achievement dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena salah masyarakat itu sendiri. Kesadaran ini menganggap bahwa sistem dan struktur sudah baik dan benar (mapan) yang merupakan faktor given, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Pola adaptif begitu kental dalam pola kesadarannya, tidak ada upaya modifikasi struktur apalagi sistem yang ada. Kesadaran naif-pun belum mampu memberikan tawaran solusi dari problem sosial, bahkan untuk memetakan secara sistematis suatu permasalahan masih kurang mampu, segala kritik terhadap sistem dan struktur dianggap tabu.

Kesadaran ketiga adalah kesadaran kritis (critical consciousness) yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural dan analisa krutus terhadap struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan implikasinya terhadap masyarakat menjadi sorotan utama. Dalam kesadaran kritis, ketidakadilan diidentifikasi secara mendalam dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur tersebut bekerja.

Kemudian ada yang berpendapat tentang kesadaran yang lebih dari sebelumnya dalam istilah lain “kesadarannya kesadaran” (the conscie of the consciousness) yaitu kesadaran transformatif, dimana orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan.

Menuju Kesadaran Profetik

Istilah ‘kesadaran profetik’ sengaja penulis ambil, bukan dalam rangka untuk ‘menyaingi’ tipologi kesadaran yang selama ini diwacanakan, namun lebih dari itu bahwa manusia dalam derajatnya sebagai khalifah di muka bumi seharusnya memiliki kontrol penuh akan jalannya peradaban, dan ini hanya akan tercapai ketika memiliki kesadaran. Kemudian istilah ‘profetik’ diambil dari pemikiran Muhammad Iqbal yang mengutip perkataan seorang mistikus Islam dari Ganggah yaitu Abdul Quddus, bahwa “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi”. Iqbal menganggap terdapat perbedaan antara kesadaran seorang Nabi dengan kesadaran seorang mistikus/sufi. Dalam peristiwa Mi’raj-nya Rasulullah, Beliau tidak terlena ketika telah bertemu dengan sang kekasih sejati, yang dalam anggapan mistikus tadi adalah kebahagiaan yang sempurna ketika bertemu dengan sang pencipta.

Kesadaran seorang Nabi selain tidak terlena akan kebahagiaan individu, juga karena Nabi sadar bahwa memiliki tanggung jawab ‘teoantroposentris’, bahwa kehadiran dirinya diperlukan oleh umat untuk kemudian merubah kondisi zaman menuju peradaban yang madani. Nabi selain sebagai sosok tauladan juga sebagai sosok pembebas dari semua penindasan yang terjadi di muka bumi. Gerakan pembebasan (liberatif) yang dilakukan Nabi Muhammad bukan karena kebetulan namun penuh kesadaran akan kondisi realitas yang terjadi sehingga menjadi keharusan sejarah Beliau muncul ditengah-tengah bangsa Arab yang pada waktu itu berada dalam kondisi paling terbelakang (jahiliyah), baik dalam hal sosial, ekonomi, politik, religius, dan lainya.

Kesadaran seorang Nabi (kesadaran profetik) inilah yang seharusnya kita – dalam hal ini sebagai khalifah dil ardh – tanamkan sebagai pola kesadaran yang berorientasi pada perubahan peradaban dan pembebasan. Untuk itu kemudian mengadopsi etika profetiknya Kuntowijoyo dalam menerjemahkan QS. Ali Imron: 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”.

Dalam proses kesadarannya Kuntowijoyo menjelaskan terdapat tiga etika profetik dalam ayat tersebut, yang agar memiliki sosial significance maka beliau terjemahkan dalam bahasa ilmu yaitu Amar Ma’ruf (humanisasi), Nahy Munkar (liberasi) dan Tu’minuuna Billah (transendensi).

Humanisasi (amar ma’ruf), dalam hal ini hasil penerjemahan dari konsep Amar Ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan), sebagai proses pengangkatan derajat manusia kembali (memanusiakan manusia) yang selama ini terjerembab dalam kondisi yang tidak lagi berkuasa atas jalannya peradaban, manusia telah berada pada posisi paling bawah sehingga hilang identitas kemanusiaannya sebagai akibat sistem dan peradaban yang dibuatnya sendiri. Betapa tidak ketika kita lihat dalam dunia industri, dimana posisi manusia yang seharusnya menjadi pengendali mesin, namun saat ini manusia malah tunduk pada mesin, atau bahkan telah menjadi makhluk anorganik/mekanis yang tidak lain menjadi mesin itu sendiri.

Tidak hanya persoalan dalam masyarakat technokrasi yang menyebabkan runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan, namun dampak dari itu (industrialisasi) yaitu otoritarianisme, neofeodalisme, dan budaya militerisme juga menyebabkan turunnya derajat manusia. Manusia lama-kelamaan hilang kemanusiaannya akibat proses dehumanisasi, maka dari itu, proses humanisasi diperlukan untuk meningkatkan lagi derajat manusia.

Liberasi (nahy munkar), dalam hal ini pembebasan (liberasi) yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo adalah dalam sempat sasaran yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik. Liberasi dalam sistem pengetahuan ialah usaha-usaha untuk membebaskan orang dari sistem pengetahuan materialistis, dan dari dominasi struktur, misal kelas dan seks. Dalam hal sistem sosial maka pembebasan dilakukan pada aspek perombakan sistem monokultur yang sekarang masyarakat berbondong-bondong ke arahnya yaitu sistem sosial industrial. Pembebasan dalam aspek ekonomi bukan dalam artian privatisasi maupun konsep ekonomi liberal, justru liberasi dalam hal ekonomi berusaha membebaskan dari belenggu dominasi ekonomi dalam hal ini ekonomi kapitalis sebagai sampel paradigma ekonomi yang mendominasi sehingga perlu dilakukan pembebasan dari belenggu kapitalis. Kemudian liberasi politik berarti membebaskan sistem dari otoritarianisme, diktator, dan neofeodalisme.

Transendensi (tu’minuuna billah). Semangat postmodernisme ikut memperngaruhi dalam wacana transendensi yaitu dengan dedifferensiasi-nya (agama kembali menyatu dalam kehidupan ‘dunia’). Aspek transendensi menunjukkan bahwa tidak ada keterputusan antara proses humanisasi dan liberasi dengan nilai-nilai ilahiah (transendental value).

Ketiga unsur profetik (humanisasi, liberasi dan transendensi) tersebut menjadi kerangka dasar dari konsep kesadaran profetik. Kesadaran profetik meniscayakan adanya integrasi dari ketiga unsur tadi dalam pemahaman dan kesadaran.

Kesadaran profetik merupakan loncatan kesadaran manusia (khalifah fil ardh) menuju kesadaran Nabi yang berorientasi pada perubahan menuju tatanan masyarakat sebagaimana dalam ayat yang sama (QS. Ali Imron :110) disebut sebagai “Khairu Ummah” (umat yang terbaik) dalam bahasa yang lain yaitu masyarakat madani. Dengan cara inilah kita dapat meniru semangat kenabian yang selalu hadir untuk membebaskan umatnya dari belenggu keterpurukan.

Kesadaran Profetik sebagai Basic Structure Bangunan Perubahan

Dalam kondisi hari ini yang kian hari tidak menemukan titik terang kehidupan, justru malah semakin terpuruk dalam kondisi yang sesungguhnya akibat perbuatan manusia sendiri. Agenda perubahan menjadi suatu cita-cita setiap insan atau komunitas yang menolak segala bentuk status quo. Sehingga pada akhirnya perubahan adalah sebuah bentuk keniscayaan.

Berangkat dari semangat perubahan tersebut maka muncul pertanyaan darimana memulai perubahan tersebut? Caranya seperti apa? Barangkali sekedar untuk memperkaya wacana, untuk melakukan sebuah perubahan maka yang harus dilakukan pertama kali adalah perubahan dalam dataran kesadaran, dalam hal ini kesadaran insaniah kita revolusikan menuju kesadaran profetik (kesadaran seorang nabi) yang memiliki orientasi pembentukan tatanan umat yang ideal, ‘khairu ummah’ atau madani.

Kesadaran Profetik kita jadikan sebagai basic structure (struktur dasar) atas bangunan perubahan. Apa yang dilakukan seorang nabi (semangat perubahan dan tanggung jawab atas umatnya) perlu kita tiru sebagai modal untuk melakukan perubahan, baik dalam scope lokal maupun global.

Kemudian untuk membentuk kesadaran profetik dalam diri seseorang, maka Freire berperan besar dalam segenap teorinya tentang pendidikan adalah proses penyadaran (conscientizacao). Pendidikan sebagai metode untuk menginternalisasikan kesadaran dalam diri seseorang, tentu dengan pola pendidikan yang profetis. Pendidikan selain dijadikan sebagai penyadaran akan realitas yang terjadi, juga penyadaran akan tanggung jawabnya yang transenden (melampaui) sebagai khalifah dan penerus para Nabi.

Mengutip pendapat Freire: “pendidikan teologis haruslah lebih dari suatu bentuk tindakan kultural untuk pembebasan yang dengannya manusia menggantikan pemahaman naif tentang Tuhan – sejauh berbentuk mitos dan telah menyebabkan manusia terasing – dengan pemahaman yang lain: bahwa Tuhan, sebagai suatu kehadiran dalam sejarah, tidak menghalangi manusia “membuat sejarah”: sejarah pembebasan mereka”. Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tidak ada pertentangan antara semangat transendensi (ilahiah) dengan semangat pembebasan, hal inilah yang dimiliki seorang Nabi, sehingga pola pendidikan yang seharusnya dilakukanpun juga mengarah pada pembentukan kesadaran seorang Nabi.

Penutup

Kesadaran Profetik sebagai alternatif kesadaran manusia dalam berproses dalam hidup ini, baik secara individu maupun kolektif, dengan harapan bahwa akan muncul manusia-manusia yang berorientasi sebagaimana seorang Nabi melakukan tugas kenabiannya yakni pembebasan, namun tidak lepas dari kerangka ilahiah sebagai grand idea dalam melakukan perubahan tersebut.

Perubahan harus dimulai dari persoalan yang paling mendasar, yaitu Kesadaran, baik individu maupun kolektif, hanya dengan cara inilah perubahan dapat terjadi dan memiliki arah yang jelas sesuai misi kenabian yaitu mewujudkan ‘khairu ummah’. Wallahu a’lam…


* Wakil Presiden BEM UAD

Tidak ada komentar: