Kamis, 04 Oktober 2007

AL-QURAN TIDAK TURUN DI RUANG HAMPA: “MEMAHAMI TESIS ABU ZAYD”

“PERADABAN Islam adalah peradaban teks” demikian tesis Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir asal Mesir yang sudah dikenal luas di dunia Islam itu (Abu Zayd: 2003). Pernyataan Abu Zayd dibenarkan oleh produk pemikiran Islam dari abad ke abad yang terus merujuk teks. Yang dimaksud teks di sini adalah al-Quran. Kitab-kitab fiqih, bisa dikatakan sebagai bentuk penjabaran dari peradaban teks tersebut. Di lain sisi, peradaban Barat sering disebut peradaban konsep. Peradaban Islam meksi juga berasas pada konsep, tapi (lagi-lagi) merujuk teks. Artinya, peradaban Islam selalu memosisikan teks sebagai poros utama.


Agak senada dengan Abu Zayd, Muhammad Abed Al-Jabiri, pemikir asal Maroko, mengistilahkan peradaban Islam dibangun atas Nalar Bayani. Bagi Al-Jabiri, Nalar Bayani berakar dari pemikiran Imam asy-Syafi’i (9 M) yang menjadikan teks sebagai rujukan utama dalam merespons pelbagai persoalan. Syafi’i selalu menggunakan kacamata teks untuk memotret realitas kemanusiaan. Rasio hanya digunakan untuk peran mediasi dan penjelas teks yang bagaimanapun tetap menjadi otoritas utama (al-Jabiri, 2000). Teks tidak dilihat sebagai simbol partikular yang diproduksi budaya tertentu, melainkan bahasa langit yang absolut. Teks selalu menjadi parameter, sementara masyarakat dan budaya mengikut alurnya. Akibatnya, tidak ada kontekstualisasi makna teks, sebab teks dipersepsi memiliki makna tunggal yang permanen.

Meski tidak menolak otoritas teks, namun al-Jabiri menyayangkan Nalar Bayani dijadikan epistemologi reproduksi syari’at Islam. Sebab baginya, itu hanya akan menjauhkan penafsir dari tujuan teks. Nalar Bayani memandang tanda, identik dan permanen dengan maknanya. Konsekuensinya akan melahirkan karya-karya tafsir yang menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran dipersepsi (hanya) dapat diungkap oleh satu macam arti karena alasan sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dan maknanya di dunia ide, dianggap baku dan tak dapat diganggu gugat. Nalar Bayani telah menutup peran akal untuk mengelaborasi maksud dan tujuan teks. Bagi nalar ini, tak ada tujuan syari’at (maqâshidus syari’ah) yang bisa dipertimbangkan untuk dikontekstualisasikan dengan realitas kontemporer.

Dengan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa teks tak bisa dilepaskan dari gerak peradaban umat Islam. Namun persoalannyaa adalah teks yang diartikan secara literal. Maksudnya, teks yang (sesungguhnya) merupakan produk sejarah -- dan karena itu profan -- dalam prakteknya dipandang bertuah, sakral, dan melampaui sejarah. Maka terjadilah kesenjangan antara teks dan realitas kemanusiaan. Kesenjangan itu bisa berbentuk kegagapan akan modernitas, sehingga menimbulkan rasa terasing, sikap anti Barat, serta upaya menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam yang dianggap “murni”: sebagaimana yang dikandung teks Al-Quran dan Sunnah. Upaya menggapai yang “murni” ini, memunculkan gerakan pemurnian (puritanisasi) atas hal-hal yang dianggap bukan asli Islam.

Kegagapan lain berupa ketidakmampuan mengaitkan antara Islam dengan persoalan kemanusiaan universal seperti kemiskinan, diskriminasi, eksploitasi, marginalisasi, kebodohan, korupsi, dsb. Padahal, yang menjadi raison d’etre kehadiran Nabi justru untuk mengatasi problem-problem tersebut. Agenda perjuangan Nabi Muhammad, sesungguhnya adalah pembebasan manusia dari belenggu dan eksploitasi kelompok tertentu. Konsep tauhid beliau selalu bertalian erat dengan proses perubahan sosial dari tatanan yang eksploitatif menuju yang berkeadilan. Oleh karena itu, ketika Islam tidak lagi dikaitkan dengan ide besar transformasi sosial, maka sesungguhnya usaha tersebut telah mengkhianati semangat kelahirannya sendiri.

Di sinilah letak penting upaya menafsir ulang (rethinking) teks yang dikumandangkan intelektual muslim dari pelbagai penjuru dunia: Al-Jabiri (proyek Kritik Nalar Arab), Arkoun (Kritik Nalar Islam), Essack (Hermeneutika Pembebasan), Hanafi (Kiri Islam), dan seterusnya. Tanpa meninggalkan teks, mereka menawarkan metodologi untuk mempertahankan eksistensi keberagamaan kita saat ini. Sementara itu, persoalan besar akan selalu menghantui kelompok puritan, utamanya ketika mereka meniscayakan ketundukan atas al-Quran dalam bentuknya yang tekstual. Ketika teks diposisikan sebagai barang transenden, tidak terpengaruh hiruk-pikuk soal kemanusiaan, maka ia akan mati. Teks, oleh mereka diposisikan monointerpretatif: ditafsirkan sekali untuk berlaku selamanya. Makna yang dikandung teks, bagi mereka identik dan permanen dengan teks. Padahal teks adalah produk budaya. Al-Quran sebagai firman Allah yang direkam dalam bentuk teks, diproduksi oleh sebab dan peristiwa yang biasa dikenal sebagai asbâbun nuzûl.

Pada titik ini, Abdullahi Ahmed an-Na’im, pemikir asal Sudan itu, membedakan ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekkah dan ayat-ayat Madinah. Menurutnya, ayat-ayat Mekkah mengandung gagasan kemanusiaan universal yang tak terikat dan terbatas identitas agama. Sementara ayat-ayat Madinah bersifat sebaliknya (an-Na’im, 2001). Perbedaan karakter ayat-ayat tersebut disebabkan perbedaan setting sosial yang berbeda. Al-Jabiri membagi kandungan teks al-Quran menjadi tiga: Pertama, teks yang mengandung universalisme syari’at. Kedua, teks yang memuat hukum-hukum partikular. Dan ketiga, teks yang menunjukkan tujuan-tujuan serta latar belakang tertentu dari agama (al-Jabiri, 2003). Di sini Al-Jabiri memilah antara teks yang mengandung universalisme nilai syari’at dengan teks yang beroperasi dalam penerapan syari’at pada masa dan tempat tertentu. Yang pertama bersifat permanen dan tujuan, sementara yang kedua adalah hasil dialog antara teks dengan realitas yang terkurung oleh ruang dan waktu.

Persoalan warisan mencerminkan kompromi Islam antara teks dengan realitas. Pada masa Nabi, masyarakat Arab terbiasa melangsungkan pernikahan antar suku demi persaudaraan dan persahabatan. Namun itu justru bermasalah dan menimbulkan konflik, sebab perempuan yang menjadi istri suku lain, hartanya otomatis menjadi milik suku suaminya waktu bagi-bagi warisan. Ini menyebabkan penumpukan harta pada suku suami. Oleh karena itu, masyarakat Arab lalu meniadakan hak waris bagi perempuan agar tidak terjadi peperangan yang dipicu urusan warisan. Namun ketika Islam datang, al-Quran justru memutuskan hak perempuan setengah dari hak laki-laki. Ketetapan itu berangkat dari iktikad untuk menghormati hak perempuan dalam konteks zaman itu.

Dari contoh di atas, tampak jelas betapa al-Quran tidak turun di ruang hampa. Dari contoh-contoh sedemikianlah al-Quran terkonstruksi secara kultural dan terstruktur secara historis. Makanya, jika pembacaan atasnya dilepas dari unsur budaya yang mengonstruksinya, maka dia akan terasa asing dan kehilangan relevansi. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kandungan tekstual al-Quran tidak berlaku sepanjang zaman dan pada setiap tempat. Al-Quran terkurung dalam ruang dan waktu. Seperti inilah model pembacaan hermeneutika: hakikat al-Quran tidak diperdebatkan, melainkan peran dan cara memahaminyalah yang dipersoalkan.

 * Muhsin Hariyanto





Tidak ada komentar: